Halaman

Sabtu, 17 Maret 2012

Putusnya Pernikahan


BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN UMUM
Suatu perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia disepanjang masa.Setiap sepasang suami istri selalu mendambakan agar ikatan lahir batin yang dibuhul dengan akad perkawinan itu semakin kokoh terpateri sepanjang hayat masih dikandung badan
Namun demikian kenyataan hidup membukitikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami istri itu bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang harmonis antara suami istri itu tidak dapat diwujudkan. Faktor-faktor psikologis,biologi, ekonomis, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup dan lain sebagainya  sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya.
Dalam mengatur dan memelihara kehiddupan bersama antara suami istri, Syari’at Islam tidak terhenti pada membatasi hak dan kewajiban timbal  antara keduanya dan memaksakan keduanya hidup bersama terus menerus tanpa memperdulikan kondisi-kondisi obyektif yang ada dan timbul dalam kehidupan bersama, namun lebih dari itu Syari’at Islam mengakui realitas kehidupan dan kondisi kejiwaan yang mungkin berubah dan silih berganti[1].
Munculnya perubahan pandangan hidup yang berbeda antara suami istri, timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya kecenderungan hati pada  masing-masingnya memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, kesemuanya merupakan hal-hal yang harus ditampung dan diselesaikan.
Pergaulan suami istri adalah merupakan persenyawaan jiwa raga dan cita –rasa, merupakan perpaduan keseluruhan totalitashidupnya, merupakan pergaulan yang sangat rapat dan erat dan bersifat terus menerus sepanjaang waktu, keduanya hidup sekasur, setempat tidur dan sedapur. Oleh karena itu diperlukan persesuaian pendapat dan cita-cita, pendekatan watak dan tabi’at agar supaya kehidupan bersama itu mendatangkan rahmat[2].
Pada dasarnya suami istri wajib bergaul dengan sebaik-baiknya,suami wajib bersikap sabar jika melihat sesuatu yang kurang berkenan atau tidak disenangi pada dari istrinya, demikian pula sebaiknya. Firman Allah surat An Nisa’ ayat 19 menyatakan :
ﻮَعَاﺸِﺮُﻮﮬُﻦََََََََََّﺑِﺎﺍﻠﻤَﻌْﺮُﻮﻒِۚ ﻔَﺈﻦْﻜَﺮﮬْﺘﻤُﻮﮬُﻦََََََََََّﻔَﻌَﺴَﻰﺃﻦْﺘَﻜْﺭﮬﯘﺍﺸَﻴْﺌﺎﻮَﻴﺠْﻌَﻞﷲُﻔَِﯿْﻪِﺨَﯿْﺮﺍﮔﺛِﯿْﺮﺍ
“Dan bergaulah dengan mereka (istri) secara patut.Kemudian bila kamu tidak menyukai meraka (maka bersabarlah), karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”[3].
Apabila suami melihat gejala-gejala nusyuspada istrinya semisal istrimeninggalkan rumah tanpa seidzin suaminya, istri enggan melaksanakan kewajiban selaku istri, bersikap membangkan terhadap suaminya,maka suami wajib menempuh jalan kebijaksanaan untuk mengembalikan istrinya itu kepada kedudukannya semula dengan tindakan yang bersifat paedagogis.Dalam hal ini Allah berfirman :
وَﺍﻠﻶﺘِﻰﺘَﺨﺎﻔُوﻦﻨُﺷُﺯَﮬُﻦّﻔَﻌﻈوﮬَُﻦّﻔﻰﺍﻠﻤَﻀَﺎﺠِﻊِوَﺍﺿِْرﺒُوﮬُﻦّﻔَﺈِﻦْﺃﻃَﻌْﻦَﻜُﻢْﻔَﻼَﺘَﺒْﻐُواﻋَﻠَﻴْﻫِﻦّﺴَﺒِﻴْﻼً 
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”.
Ayat ini memberi tuntunan kepada para suami yang menghadapi istrinya melakukan nusyus,yaitu agar suami mengambil langkah kebijaksanaan untuk memberi pengajaran kepada istrinya itu.Tindakan yang mula-mula diambil oleh suami ialah memberi nasihat keagamaan kepada istrinya itu agar dengan demikian istri berbaik kembali menjadi istri yang taat. Jika dengan nasihat tidak mendatangkan hasil, maka hendaklah suami memisahkan diri dari tempat tidur istrinya itu. Kemudian jika cara inipun tidak mendatangkan hasil, maka kepada suami diberi hak pengajaran dengan mengambil tindakan pisik sekedar yang diperlikan.Bila cara pertama telah ada manfaatnya tidak boleh dijalankan cara kedua, begitu seterusnya[4].
Oleh karena itu, terhadap isteri nusyus yang cukup dinasehati dangan ucapan, tidak boleh diambil tindakan dengan selainnya, dan bagi  istri nusyus yang dapat diperbaiki dengan dipisahkan dari tempat tidurnya hendaklah dicukupkan dengan cara ini. Jika istri yang nusyus itu tidak mendatangkan bahaya pada badan.Al-Qur’an menjadikan tindakan fisik ini sebagai cara terakhir dari jalan-jalan sah yang menjadi hak suami.dan hanya boleh dipergunakan ketika keadaan darurat saja.
Bukankah arti kebolehan suami memukul istri yang nusyuz itu memberi hak kepada suami untuk memukul istrinya yang nusyuz dalam keadaan apapun.melaikan semata-mata bersifat pengajaran dan bertujuan kemaslahatan serta tidak ada jalan selainnya.kesmuanya dilakukan atas dasar kasih sayang dan terjauh dari rasa dendam.
Dalam hal ini hendaklah kita mencontoh sikapRasulullah Saw terhadap istri-istri beliau yang tidak pernah selama hayat beliau memukul istrinya.Rasulullah mencela dan membenci suami yang suka memukul istrinya,dengan sabda beliau:
ﺍَﻤَﺎﻴَﺴْﺘَﺤْﻲِﺍَﺤَﺪُﻜُﻢْﺍَﻦْﻴَﺿْﺮِﺐَﺍِﻤْﺮَﺃَﺗََﮫُﻜَﻤَﺎﻴَﺿْﺮِﺐَﺍﻠﻌَﺒْﺪ  
ﻴَﺿْﺮِﺒﮬﺎَﺍﻮﻞَﺍﻠﻦَﮬَﺎﺮِﺜُﻢّﻴُﺠَﺎﻤِﻌُﻫَﺎﺁﺨِﺮُﮦ
“Tidak melakukan seorang diantaramu itu memukul istrinya seperti memukul budaknya? dia pukul isrinya itu diawal siang hari kemudian dia mengumpulinya istrinya itu diakhir siang harinya”.
Dibolehkan suami memukul istrinya yang nusyuz adalah jika memang cara itulah satu-satunya jalan untuk mendidik istrinya dan mengembalikannya kepada ketaatan,karna pada sebagian istri ada yang hanya dapat diperbaiki nusyuz nya dengan cara ini[5].
Sebagaimana Al-Qur’an memberikan petunjuk tentang hal ihwal nusyuz yang timbul dari pihak istri,maka Al-Qur’an juga memberikan petunjuk kepada istri ketika menghawatirkan terjadinya nusyuz yang timbul dari pihak suaminya bersikap keras dan kasar terhadap istri, tidak mau menggaulinya secara baik, enggan memberikan nafkah wajib,dan lain sebagainya[6].
Dalam hal ini firman Allah surah An-Nisa’ ayat 128 menyatakan yang artinya:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,maka tidak mengapa dari keduanya melakukan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabi’atnya kikir.dan jika kamu menggauli istri kamu dengan baik dan memelihara dirimu(dari nusyuz dan sikap tak acuh) Maka sungguh Allah adalah yang mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dalam hal menghadapi suami yang nusyuz ini maka istri hendaknya berusaha mencari jalan yang sebaik-baiknya, memperlunakkan hati suami dan mengusahakan kemaslahatan bersama, mendinginkan udara panas yang melanda rumah tangga, melonggarkan sesak nafas yang menimpa suaminya, untuk itu hendaklah istri berusaha menuruti apa yang terbiasa untuk menimbulkan kegembiraan bagi suami, memperbaiki sikap dan tingkah laku dihadapan suami, bermuka jernih untuk menghilangkan amarah suami, berhias dan berdandan diri dihadapan suami, serta mempertemukan kembali pertalian kedua jiwa yang telah terjauh itu.
Oleh karna itu perselisihan yang terjadi antara suami istri wajib diusahakan oleh suami istri itu nerdua secara musyawarah dan mufakat. kedua suami istri itulah yang wajib menetralisir dan menormalisir urusan rumah tangganya, mengobati sendiri luka-lukanya.
Apabila krisis Rumah tangga yang melanda kehidupan suami istri itu sedemikian memuncak dan tidak mungkin diselesaikan selain harus bercerai atau diceraikan.dan jalan inilah yang paling menjamin kemaslahatan. Baik untuk kemaslahatan suami, kemaslahatan istri maupun anak-anak nya,maka untuk itu putusnya perkawinan dapat dimungkinkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Putusnya Pernikahan serta Penyebabnya
*     .THALAQ
Kata thalaq dalam bahasa arab berasal dari kata Thalaqa-Yatlhaqu-Thaalaqan yang bermakna melepas atau mengurai tali pengikat,baik tali pengikat itu bersifat konkrit seperti tali pengikat kuda maupun bersifat abstrak seperti tali perkawinan.kata thalaqa merupakan isim masdar dari kata Thallaqa-Yutalliqu-Tathliqan,jadi kata ini semakna dengan kata tahliq bwermakna “irsal” yaitu melepaskan dan meninggalkan.
Al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqh alal madzabihil arba’ah memberi defenisi thalaq sebagai berikut:
ٲَﻟﻄَﻼَﻚُﺇِﺯَﺍﻠََﺔُﺍﻠﻧِﻜﺎﺡُِﺍﻮﻧُﻗﺼَﺎﻦُﺤَﻠّﮫِﺑِﻟَﻔظ ﻤﺨﺼُﻮﺺ
“Thalaq ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan mempergunakan kata-kata tertentu”
Assyid dalam kitabnya fiquh sunnah memberi defenisi thalaq sebagai berikut:
“Thalaq ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”
Abu Zakaria dalam kitabnya fathul wahhab memberi definisi thalaq sebagai berikut:
“Thalaq ialah melepas tali akad nikah dengan kata thalaq dan yang semacamnya[7]
·        Disyaratkan bagi orang menalaq hal-hal berikut ini:
1.Baligh
2.Berakal sehat
3.Atas kehendak sendiri
4.Betul-betul bermaksud menjatuhkan talaq[8]
·        Thalaq di tangan suami
Hukum islam menetapkan hak thalaq bagi suami dan suamilah memegang kendali thalaq.karna suami dipandang lebih mampu memelihara kelangsungan hidup bersama.suami di beri beban membaya mahar dan menyelenggarakan nafkah istri dan anak-anaknya.demikian pula pada suami diwajibkan menjamin nafkah istri selam ia menjalani masa iddahnya.hal-hal tersebut menjadi pengikut bagi suami untuk tidak menjatuhkan thalaq dengan sesuka hati.
Al Jarjawi mengemukakan,bahwa kaum wanita itu lebih menonjol sikap emosional,kurang menonjol sikap rasionalnya,capat marah kurang tahan menderita,mudah susah dan gelisa,dan jika bercerai bekas istri tidak menanggung beban materil terhadap bekas suaminya,tidak wajib membayar mahar,sehinnga andai kata thalaq menjadi haq yang berada di tangan istri maka besart kemungkinan istri akan lebih mudah menjatuhkan thalaq karena sesuatu sebab yang kecil.
Menurut ketentuan hukum islam thalaq adalah termasuk salah satu hak suami,Allah menjadikan hak thalaq ditangan suami,tidak menjadikan hak thalaq ditangan istri atau pun ditangan orang lain.saksi ataupun pengadilan.Firman Allah dalam surah Al-Ahzab ayat 49 menyatakan sebagai berikut:

ﻴَﺄﻴﮭﺎَﺍﻠﻨﻴﻦَﺍَﻤَﻧُوﺍﺍِﻧَﺍﻨَﻜَﺤﺘُﻢُﺍﻠﻤُﺆﻤِﻨَﺎﺖِﺛُﻢﻄَﻼﻘﺘُﻤُﻮﻫُﻦ

·        Pesaksian Thalaq
Kebanyakan fuqaha berpendapat.bahwa thalaq itu dapat terjadi tanpa persaksian,yakni dipandang syah oleh hukum islam suami menjatuhkan thalaq terhadap istrinya tanpa kehadiran dan kesaksian dua orang saksi,karna thalaq itu menjadi hak suami sehingga suami berhak sewaktu-waktu menggunakan hak nya itu tanpa harus menghadirkan dua orang saksi dan sah nya thalaq itu bergantung kepada kehadiran saksi.Suami tidak memerukan persaksian untuk mempergunakan haknya.tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw dan para sahabat sesuatu yang menjadi dalil atau alasan di Syari’atkannya persakian thalaq.

·        Hukum menjatuhkan thalaq
Para fuqaha berbeda-beda pendapat tentang hukum asal menjatuhkan thalaq oleh suami.Pendapat yang paling tepat diantara pendapat-pendapat itu adalah pendapat yang menetapkan bahwa suami diharamkan menjatuhkan thalaq kecuali karna darurat (terpaksa).pendapat itu dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan Hanabilah.
Thalaq menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri dalam hal suami tidak mampu menunaikan hak-hak istri serta menunaikan kewajiban sebagai suami.
Thalaq itu diharamkan jika dengan tolak itu kemudian suami berlaku serong,baik dengan bekas istri ataupun dengan wanita lain.
Thalak itu mubah hukumnya ketika ada keperluan untuk itu,yakni karna jeleknya prilaku istri,buruknya sikap istri terhadap suami,suami menderita mudharat lantaran tingkah laku istri,suami tidah mencapai tujuan perkawinan dari istri.
Thalak disunnatkan jika istri rusak Moralnya,berbuat zina,atau melanggar larangan-larangan agama,atau meninggalkan kewajiban-kewajiban agama yang diperintahka Allah.

*     PERCERAIAN
Suatu perkawinan menjadi putus antara lain karna perceraian,dalam hukum islam,percaraian terjadi karna apa yang disebut khulu’,zihar,ila’,li’an.
·        Khulu’
Dikalangan para fuqaha,khulu’ dimaksudkan dengan makna yang umum yaitu perceraia dengan disertai sejumlah harta sebagai iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan,baik dengan kata khulu’,mubara’ah,maupun thalaq.Kadang dimaksudkan makna yang khusus,yaitu thalaq atas dasar iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khulu’(pelepasan) atau semakna seperti mubara’ah(pembebasan).
Hukum islam memberi jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’.sebagaimana hukum islam memberi jalan kepada suami untuk mrnceraikan istrinya dengan jalan thalaq.
Dasar hukum disyari’atkannya khulu’ ialah firman Allah surat Al-Baqarah ayat 229 yang artinya:

“Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka
(istri) kecuali kalau keduanya tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.itulah hukum-hukum Allah,maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah,mereka itulah orang-orang yang aniaya”

Asyafi’i,Abu hanifah dan kebanyaan ahli ilmu berpendapat,bahwa khulu’ itu sah dilakukan mesti istri tidak dalam keadaan nusyuz,dan khulu’ itu sah dengan saling kerelaan antara suami istri kendati keduanya dalam keadaan biasa dan baik-baik saja.iwadh sebagai tebusan itu halal bagi suami berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 4 yang artinya:
“kemudian jika mereka istri menyerahkan kepadanya sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati,maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”

·        Zhihar
Menurut bahasa Arab jkata Zhihar terambil dari kata zhahrun yang bermakna punggung.dalam kaitannya dengan suami istri,zhihar ada ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami,seperti ucapan suami kepada istri: “Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”
Sebagai dasar hukum adanya pengaturan zhihar ialah firman Allah surat              Al-Mujadalah ayat 1-4 dan surat Al-Ahzab ayat 4.

·        Ila’
Kata ila’menurut bahasa merupaka mashdar dari kata Aalaa-Yuulii-Ilaa’an.sewazan dengan A’thaa-Yu’thii-i’thaa’an.yang artinya sumpah.
Menurut istilah dalam hukum islam ila’ ialah: “Sumpah suami dengan menyebut nama Allah atau sifatnya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya itu,baik secara muthlak maupun dibatasi dengan ucapan selamanya,atau dibatasi empat bulan atau lebih”.
Dasar hukum penaturan ila’iaah firman Allah surat Al-Baqarah Ayat 226-227.

Beberapa contoh ucapan ila’ adalah ucapan suami kepada istri adalah sebagai berikut:
a. Demi Allah saya tidak akan mengumpuli istriku
b. Demi kekuasaan Allah saya tidak akan mencampuri istriku selama 5 bulan
c. Demi Allah saya tidak akan mendekati istriku selamanya

·        Li’an
Kata li’an adalah mashdar dari kata-kata kerja Laa’ana-Yulaa’inu-Li’aanan.terambil dari Aala’nu,bermakna jalan laknat atau kutukan.disebut demikian karna suami istri yang asaling berli’an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya,atau karna orang yang bersumpah li’an itu dalam kesaksian yang kelima menyatakan bersedia menerima la’nat(kutukan) Allah jika pernyataan tidak benar.
Menurut hukum islam li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan 4 kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya,kemudia pada sumpah kesaksian kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima la’nat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.
Dasar hukum pengaturan li’an bagi suami yang menuduh istrinya berbuat zina ialah firman Allah surat An-Nur ayat 6-7.

B.Sebab-sebab lain Putusnya Pernikahan dan Akibatnya

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa perkawinan menjadi putus sebab thalaq dan perceraian, maka selain itu perkawinan juga dapat putus oleh hakim dann kasus syqaq, dengan keputusan hakim yang berupa pembatalan perkawinan dan fasakh,serta sebab meninggalkan meninggal dunia pada salah seorang suami istri atau keduanya.
Di bawah ini dijelaskan satu persatu,sebagai berikut:

*     Putusnya Perkawinan sebab Syiqaq

Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran,menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya. Yang terdapat dalam Firman Allah surat An-Nisa ayat 35.
Menurut firman Allah tersebut jika terjadi kasus Tsiqaq antara suami istri maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab musabah terjadi syiqaq dimaksud serta berusaha mendamaikannya,atau mengambil prakasa putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya.

*     Putusnya Perkawinan sebab Pembatalan

Jika suatu akad perkawinan telah dilaksanakan dan dalam pelaksanaannya ternyata terdapat larangan perkawinan antara suami istri semisal karna pertalian darah,pertalian susuan,pertalian semenda,atau terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan hukum seperti tidah terpenuhinya rukun atau syaratnya,maka perkawinan menjadi batal demi hukum dan melalui proses pengadilan,hakim membatalkan perkawinan tersebut.

*     Putusnya Perkawinan sebab Fasakh

Hukum islam mewajibkan suami untuk melaksanakan hak-hak istri dan memelihara istri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiyaya istrinya dan menimbulkan kemudharatan terhadapnya.suami dilarang menyengsarakan kehidupan istri dan menyianyiakan haknya.Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 231.
Hukum islam tidak menghendaki adanya kemudharatan dan melarang saling menimbulkan kemudharatan.dalam suatu hadis dinyatakan bahwa rasulullah bersabda: “Tidak boleh ada kemudharatan dan tidak boleh saling menimbulkan kemudharatan”
Menurut kaedah hukum islam bahwa setiap kemudharatan itu wajib di hilangkan, sebagaimana kaidah menyatakan:
“Kemudharatan itu wajib dihilangkan”
Dengan keputusan pengadilan atas pengaduan karna kesengsaraan yang menimpa atau kemudharatan yang diderita,maka perkawinan dapat difasakhkan.alasan fasak yaitu:
a.Tidak adanya nafkah bagi istri
b.Terjadinya cacat atau penyakit
c.penderitaan yang menimpa istri

*     Putusnya Perkawinan sebab Meninggal Dunia

Dimaksudkan dengan meninggal yang menjadi sebab putusnya perkawinan dalam hal ini meliputi mati atau meninggal secara fisik,yakni memang dengan kematian itu diketahui jenazahnya.

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam Rumah tangga hendaklah saling menjaga serta saling menghargai,saling mengasihi,saling mengerti,saling setia sehidup semati agar pernikahan sampai kepada titik Mawaddah,Sakinah,Warahmah.
Namun sering juga kita jumpai adanya konflik atau permasalahan, perselisihan dalam rumah tangga dan bahkan sampai terjadi putusnya pernikahan yang telah dibina secara bertahun-tahun,Nauzubillah min dzalik.
Maka bagi seorang laki-laki jadilah suami seperti Rasullullah Saw dan bagi wanita jadilah istri seperti Khadizah agaar sampai kepada tujuan dari pernikahan yaitu Mawaddah,Sakinah,Warahmah.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

*    Muhammad Jawad Mughniyah,Fiqih lima mazhab,PT.lentera basritamo

*    Prof.Dr.Zakiyah, Ilmu Fiqih, Dana sakti, Yogyakarta, 1945

*    Departemen Agama,Ilmu Fiqh Jillid 2,jakarta,1983


[1] Departemen Agama,Ilmu Fiqh Jillid 2,jakarta,1983,hal.220
[2] Prof.Dr.Zakiyah,Ilmu Fiqih,Dana sakti,Yogyakarta,1945,hal.169
[3] Departemen Agama,Ilmu Fiqh Jillid 2,jakarta,1983,hal.221
[4] Prof.Dr.Zakiyah,Ilmu Fiqih,Dana sakti,Yogyakarta,1945,hal.170
[5] Departemen Agama,Ilmu Fiqh Jillid 2,jakarta,1983,hal.222
[6] Prof.Dr.Zakiyah,Ilmu Fiqih,Dana sakti,Yogyakarta,1945,hal.171
[7] Prof.Dr.Zakiyah,Ilmu Fiqih,Dana sakti,Yogyakarta,1945,hal.172-173
[8] Muhammad Jawad Mughniyah,Fiqih lima mazhab,PT.lentera basritamo,hal.441-442

Tidak ada komentar: