BAB
I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN UMUM
Suatu
perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami yang harmonis dalam
rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia disepanjang
masa.Setiap sepasang suami istri selalu mendambakan agar ikatan lahir batin
yang dibuhul dengan akad perkawinan itu semakin kokoh terpateri sepanjang hayat
masih dikandung badan
Namun
demikian kenyataan hidup membukitikan bahwa memelihara kelestarian dan
kesinambungan hidup bersama suami istri itu bukanlah perkara yang mudah
dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang harmonis
antara suami istri itu tidak dapat diwujudkan. Faktor-faktor
psikologis,biologi, ekonomis, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup dan lain
sebagainya sering muncul dalam kehidupan
rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam
sendi-sendinya.
Dalam
mengatur dan memelihara kehiddupan bersama antara suami istri, Syari’at Islam
tidak terhenti pada membatasi hak dan kewajiban timbal antara keduanya dan memaksakan keduanya hidup
bersama terus menerus tanpa memperdulikan kondisi-kondisi obyektif yang ada dan
timbul dalam kehidupan bersama, namun lebih dari itu Syari’at Islam mengakui
realitas kehidupan dan kondisi kejiwaan yang mungkin berubah dan silih berganti[1].
Munculnya
perubahan pandangan hidup yang berbeda antara suami istri, timbulnya
perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya kecenderungan hati pada masing-masingnya memungkinkan timbulnya
krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian
menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, kesemuanya merupakan
hal-hal yang harus ditampung dan diselesaikan.
Pergaulan
suami istri adalah merupakan persenyawaan jiwa raga dan cita –rasa, merupakan
perpaduan keseluruhan totalitashidupnya, merupakan pergaulan yang sangat rapat
dan erat dan bersifat terus menerus sepanjaang waktu, keduanya hidup sekasur,
setempat tidur dan sedapur. Oleh karena itu diperlukan persesuaian pendapat dan
cita-cita, pendekatan watak dan tabi’at agar supaya kehidupan bersama itu
mendatangkan rahmat[2].
Pada
dasarnya suami istri wajib bergaul dengan sebaik-baiknya,suami wajib bersikap
sabar jika melihat sesuatu yang kurang berkenan atau tidak disenangi pada dari
istrinya, demikian pula sebaiknya. Firman Allah surat An Nisa’ ayat 19
menyatakan :
ﻮَعَاﺸِﺮُﻮﮬُﻦََََََََََّﺑِﺎﺍﻠﻤَﻌْﺮُﻮﻒِۚ
ﻔَﺈﻦْﻜَﺮﮬْﺘﻤُﻮﮬُﻦََََََََََّﻔَﻌَﺴَﻰﺃﻦْﺘَﻜْﺭﮬﯘﺍﺸَﻴْﺌﺎﻮَﻴﺠْﻌَﻞﷲُﻔَِﯿْﻪِﺨَﯿْﺮﺍﮔﺛِﯿْﺮﺍ
“Dan
bergaulah dengan mereka (istri) secara patut.Kemudian bila kamu tidak menyukai
meraka (maka bersabarlah), karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”[3].
Apabila
suami melihat gejala-gejala nusyuspada istrinya semisal istrimeninggalkan rumah
tanpa seidzin suaminya, istri enggan melaksanakan kewajiban selaku istri,
bersikap membangkan terhadap suaminya,maka suami wajib menempuh jalan
kebijaksanaan untuk mengembalikan istrinya itu kepada kedudukannya semula
dengan tindakan yang bersifat paedagogis.Dalam hal ini Allah berfirman :
وَﺍﻠﻶﺘِﻰﺘَﺨﺎﻔُوﻦﻨُﺷُﺯَﮬُﻦّﻔَﻌﻈوﮬَُﻦّﻔﻰﺍﻠﻤَﻀَﺎﺠِﻊِوَﺍﺿِْرﺒُوﮬُﻦّﻔَﺈِﻦْﺃﻃَﻌْﻦَﻜُﻢْﻔَﻼَﺘَﺒْﻐُواﻋَﻠَﻴْﻫِﻦّﺴَﺒِﻴْﻼً
“Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri
dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Maha
Tinggi Lagi Maha Besar”.
Ayat
ini memberi tuntunan kepada para suami yang menghadapi istrinya melakukan
nusyus,yaitu agar suami mengambil langkah kebijaksanaan untuk memberi
pengajaran kepada istrinya itu.Tindakan yang mula-mula diambil oleh suami ialah
memberi nasihat keagamaan kepada istrinya itu agar dengan demikian istri
berbaik kembali menjadi istri yang taat. Jika dengan nasihat tidak mendatangkan
hasil, maka hendaklah suami memisahkan diri dari tempat tidur istrinya itu.
Kemudian jika cara inipun tidak mendatangkan hasil, maka kepada suami diberi
hak pengajaran dengan mengambil tindakan pisik sekedar yang diperlikan.Bila
cara pertama telah ada manfaatnya tidak boleh dijalankan cara kedua, begitu
seterusnya[4].
Oleh karena itu,
terhadap isteri nusyus yang cukup dinasehati dangan ucapan, tidak boleh diambil
tindakan dengan selainnya, dan bagi
istri nusyus yang dapat diperbaiki dengan dipisahkan dari tempat tidurnya
hendaklah dicukupkan dengan cara ini. Jika istri yang nusyus itu tidak
mendatangkan bahaya pada badan.Al-Qur’an menjadikan tindakan fisik ini sebagai
cara terakhir dari jalan-jalan sah yang menjadi hak suami.dan hanya boleh
dipergunakan ketika keadaan darurat saja.
Bukankah
arti kebolehan suami memukul istri yang nusyuz itu memberi hak kepada suami
untuk memukul istrinya yang nusyuz dalam keadaan apapun.melaikan semata-mata
bersifat pengajaran dan bertujuan kemaslahatan serta tidak ada jalan selainnya.kesmuanya
dilakukan atas dasar kasih sayang dan terjauh dari rasa dendam.
Dalam
hal ini hendaklah kita mencontoh sikapRasulullah Saw terhadap istri-istri
beliau yang tidak pernah selama hayat beliau memukul istrinya.Rasulullah
mencela dan membenci suami yang suka memukul istrinya,dengan sabda beliau:
ﺍَﻤَﺎﻴَﺴْﺘَﺤْﻲِﺍَﺤَﺪُﻜُﻢْﺍَﻦْﻴَﺿْﺮِﺐَﺍِﻤْﺮَﺃَﺗََﮫُﻜَﻤَﺎﻴَﺿْﺮِﺐَﺍﻠﻌَﺒْﺪ
ﻴَﺿْﺮِﺒﮬﺎَﺍﻮﻞَﺍﻠﻦَﮬَﺎﺮِﺜُﻢّﻴُﺠَﺎﻤِﻌُﻫَﺎﺁﺨِﺮُﮦ
ﻴَﺿْﺮِﺒﮬﺎَﺍﻮﻞَﺍﻠﻦَﮬَﺎﺮِﺜُﻢّﻴُﺠَﺎﻤِﻌُﻫَﺎﺁﺨِﺮُﮦ
“Tidak
melakukan seorang diantaramu itu memukul istrinya seperti memukul budaknya? dia
pukul isrinya itu diawal siang hari kemudian dia mengumpulinya istrinya itu
diakhir siang harinya”.
Dibolehkan
suami memukul istrinya yang nusyuz adalah jika memang cara itulah satu-satunya
jalan untuk mendidik istrinya dan mengembalikannya kepada ketaatan,karna pada
sebagian istri ada yang hanya dapat diperbaiki nusyuz nya dengan cara ini[5].
Sebagaimana
Al-Qur’an memberikan petunjuk tentang hal ihwal nusyuz yang timbul dari pihak
istri,maka Al-Qur’an juga memberikan petunjuk kepada istri ketika
menghawatirkan terjadinya nusyuz yang timbul dari pihak suaminya bersikap keras
dan kasar terhadap istri, tidak mau menggaulinya secara baik, enggan memberikan
nafkah wajib,dan lain sebagainya[6].
Dalam
hal ini firman Allah surah An-Nisa’ ayat 128 menyatakan yang artinya:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,maka tidak mengapa dari keduanya melakukan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabi’atnya kikir.dan jika kamu menggauli istri kamu dengan baik dan memelihara dirimu(dari nusyuz dan sikap tak acuh) Maka sungguh Allah adalah yang mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,maka tidak mengapa dari keduanya melakukan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabi’atnya kikir.dan jika kamu menggauli istri kamu dengan baik dan memelihara dirimu(dari nusyuz dan sikap tak acuh) Maka sungguh Allah adalah yang mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dalam
hal menghadapi suami yang nusyuz ini maka istri hendaknya berusaha mencari
jalan yang sebaik-baiknya, memperlunakkan hati suami dan mengusahakan
kemaslahatan bersama, mendinginkan udara panas yang melanda rumah tangga, melonggarkan
sesak nafas yang menimpa suaminya, untuk itu hendaklah istri berusaha menuruti
apa yang terbiasa untuk menimbulkan kegembiraan bagi suami, memperbaiki sikap
dan tingkah laku dihadapan suami, bermuka jernih untuk menghilangkan amarah
suami, berhias dan berdandan diri dihadapan suami, serta mempertemukan kembali
pertalian kedua jiwa yang telah terjauh itu.
Oleh
karna itu perselisihan yang terjadi antara suami istri wajib diusahakan oleh
suami istri itu nerdua secara musyawarah dan mufakat. kedua suami istri itulah
yang wajib menetralisir dan menormalisir urusan rumah tangganya, mengobati
sendiri luka-lukanya.
Apabila
krisis Rumah tangga yang melanda kehidupan suami istri itu sedemikian memuncak
dan tidak mungkin diselesaikan selain harus bercerai atau diceraikan.dan jalan
inilah yang paling menjamin kemaslahatan. Baik untuk kemaslahatan suami,
kemaslahatan istri maupun anak-anak nya,maka untuk itu putusnya perkawinan
dapat dimungkinkan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.Putusnya Pernikahan
serta Penyebabnya
.THALAQ
Kata
thalaq dalam bahasa arab berasal dari kata Thalaqa-Yatlhaqu-Thaalaqan yang
bermakna melepas atau mengurai tali pengikat,baik tali pengikat itu bersifat
konkrit seperti tali pengikat kuda maupun bersifat abstrak seperti tali
perkawinan.kata thalaqa merupakan isim masdar dari kata
Thallaqa-Yutalliqu-Tathliqan,jadi kata ini semakna dengan kata tahliq bwermakna
“irsal” yaitu melepaskan dan meninggalkan.
Al-Jaziri
dalam kitabnya Al-Fiqh alal madzabihil arba’ah memberi defenisi thalaq sebagai
berikut:
ٲَﻟﻄَﻼَﻚُﺇِﺯَﺍﻠََﺔُﺍﻠﻧِﻜﺎﺡُِﺍﻮﻧُﻗﺼَﺎﻦُﺤَﻠّﮫِﺑِﻟَﻔظ
ﻤﺨﺼُﻮﺺ
“Thalaq
ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya
dengan mempergunakan kata-kata tertentu”
Assyid
dalam kitabnya fiquh sunnah memberi defenisi thalaq sebagai berikut:
“Thalaq ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”
“Thalaq ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”
Abu
Zakaria dalam kitabnya fathul wahhab memberi definisi thalaq sebagai berikut:
“Thalaq ialah melepas tali akad nikah dengan kata thalaq dan yang semacamnya[7]”
“Thalaq ialah melepas tali akad nikah dengan kata thalaq dan yang semacamnya[7]”
·
Disyaratkan bagi
orang menalaq hal-hal berikut ini:
1.Baligh
2.Berakal sehat
3.Atas kehendak sendiri
4.Betul-betul bermaksud
menjatuhkan talaq[8]
·
Thalaq di tangan
suami
Hukum islam menetapkan
hak thalaq bagi suami dan suamilah memegang kendali thalaq.karna suami
dipandang lebih mampu memelihara kelangsungan hidup bersama.suami di beri beban
membaya mahar dan menyelenggarakan nafkah istri dan anak-anaknya.demikian pula
pada suami diwajibkan menjamin nafkah istri selam ia menjalani masa iddahnya.hal-hal
tersebut menjadi pengikut bagi suami untuk tidak menjatuhkan thalaq dengan
sesuka hati.
Al Jarjawi mengemukakan,bahwa
kaum wanita itu lebih menonjol sikap emosional,kurang menonjol sikap
rasionalnya,capat marah kurang tahan menderita,mudah susah dan gelisa,dan jika
bercerai bekas istri tidak menanggung beban materil terhadap bekas
suaminya,tidak wajib membayar mahar,sehinnga andai kata thalaq menjadi haq yang
berada di tangan istri maka besart kemungkinan istri akan lebih mudah menjatuhkan
thalaq karena sesuatu sebab yang kecil.
Menurut ketentuan hukum
islam thalaq adalah termasuk salah satu hak suami,Allah menjadikan hak thalaq
ditangan suami,tidak menjadikan hak thalaq ditangan istri atau pun ditangan
orang lain.saksi ataupun pengadilan.Firman Allah dalam surah Al-Ahzab ayat 49
menyatakan sebagai berikut:
ﻴَﺄﻴﮭﺎَﺍﻠﻨﻴﻦَﺍَﻤَﻧُوﺍﺍِﻧَﺍﻨَﻜَﺤﺘُﻢُﺍﻠﻤُﺆﻤِﻨَﺎﺖِﺛُﻢﻄَﻼﻘﺘُﻤُﻮﻫُﻦ
·
Pesaksian Thalaq
Kebanyakan fuqaha
berpendapat.bahwa thalaq itu dapat terjadi tanpa persaksian,yakni dipandang
syah oleh hukum islam suami menjatuhkan thalaq terhadap istrinya tanpa
kehadiran dan kesaksian dua orang saksi,karna thalaq itu menjadi hak suami
sehingga suami berhak sewaktu-waktu menggunakan hak nya itu tanpa harus
menghadirkan dua orang saksi dan sah nya thalaq itu bergantung kepada kehadiran
saksi.Suami tidak memerukan persaksian untuk mempergunakan haknya.tidak ada
riwayat dari Rasulullah Saw dan para sahabat sesuatu yang menjadi dalil atau
alasan di Syari’atkannya persakian thalaq.
·
Hukum
menjatuhkan thalaq
Para
fuqaha berbeda-beda pendapat tentang hukum asal menjatuhkan thalaq oleh
suami.Pendapat yang paling tepat diantara pendapat-pendapat itu adalah pendapat
yang menetapkan bahwa suami diharamkan menjatuhkan thalaq kecuali karna darurat
(terpaksa).pendapat itu dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan Hanabilah.
Thalaq
menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri dalam hal suami tidak mampu
menunaikan hak-hak istri serta menunaikan kewajiban sebagai suami.
Thalaq
itu diharamkan jika dengan tolak itu kemudian suami berlaku serong,baik dengan
bekas istri ataupun dengan wanita lain.
Thalak
itu mubah hukumnya ketika ada keperluan untuk itu,yakni karna jeleknya prilaku
istri,buruknya sikap istri terhadap suami,suami menderita mudharat lantaran
tingkah laku istri,suami tidah mencapai tujuan perkawinan dari istri.
Thalak
disunnatkan jika istri rusak Moralnya,berbuat zina,atau melanggar
larangan-larangan agama,atau meninggalkan kewajiban-kewajiban agama yang
diperintahka Allah.
PERCERAIAN
Suatu
perkawinan menjadi putus antara lain karna perceraian,dalam hukum
islam,percaraian terjadi karna apa yang disebut khulu’,zihar,ila’,li’an.
·
Khulu’
Dikalangan
para fuqaha,khulu’ dimaksudkan dengan makna yang umum yaitu perceraia dengan
disertai sejumlah harta sebagai iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami
untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan,baik dengan kata
khulu’,mubara’ah,maupun thalaq.Kadang dimaksudkan makna yang khusus,yaitu
thalaq atas dasar iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata
khulu’(pelepasan) atau semakna seperti mubara’ah(pembebasan).
Hukum
islam memberi jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan
khulu’.sebagaimana hukum islam memberi jalan kepada suami untuk mrnceraikan
istrinya dengan jalan thalaq.
Dasar
hukum disyari’atkannya khulu’ ialah firman Allah surat Al-Baqarah ayat 229 yang
artinya:
“Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka
(istri) kecuali kalau keduanya tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.itulah hukum-hukum Allah,maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah,mereka itulah orang-orang yang aniaya”
Asyafi’i,Abu
hanifah dan kebanyaan ahli ilmu berpendapat,bahwa khulu’ itu sah dilakukan
mesti istri tidak dalam keadaan nusyuz,dan khulu’ itu sah dengan saling
kerelaan antara suami istri kendati keduanya dalam keadaan biasa dan baik-baik
saja.iwadh sebagai tebusan itu halal bagi suami berdasarkan firman Allah dalam
surat An-Nisa’ ayat 4 yang artinya:
“kemudian
jika mereka istri menyerahkan kepadanya sebagian dari mas kawin itu dengan
senang hati,maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap
lagi baik akibatnya”
·
Zhihar
Menurut
bahasa Arab jkata Zhihar terambil dari kata zhahrun yang bermakna
punggung.dalam kaitannya dengan suami istri,zhihar ada ucapan suami kepada
istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu
suami,seperti ucapan suami kepada istri: “Engkau bagiku adalah seperti punggung
ibuku”
Sebagai
dasar hukum adanya pengaturan zhihar ialah firman Allah surat Al-Mujadalah ayat 1-4 dan surat
Al-Ahzab ayat 4.
·
Ila’
Kata
ila’menurut bahasa merupaka mashdar dari kata Aalaa-Yuulii-Ilaa’an.sewazan
dengan A’thaa-Yu’thii-i’thaa’an.yang artinya sumpah.
Menurut
istilah dalam hukum islam ila’ ialah: “Sumpah suami dengan menyebut nama Allah
atau sifatnya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya
itu,baik secara muthlak maupun dibatasi dengan ucapan selamanya,atau dibatasi empat
bulan atau lebih”.
Dasar
hukum penaturan ila’iaah firman Allah surat Al-Baqarah Ayat 226-227.
Beberapa contoh ucapan ila’ adalah ucapan suami kepada istri adalah sebagai berikut:
Beberapa contoh ucapan ila’ adalah ucapan suami kepada istri adalah sebagai berikut:
a.
Demi Allah saya tidak akan mengumpuli istriku
b.
Demi kekuasaan Allah saya tidak akan mencampuri istriku selama 5 bulan
c.
Demi Allah saya tidak akan mendekati istriku selamanya
·
Li’an
Kata
li’an adalah mashdar dari kata-kata kerja Laa’ana-Yulaa’inu-Li’aanan.terambil
dari Aala’nu,bermakna jalan laknat atau kutukan.disebut demikian karna suami
istri yang asaling berli’an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan
diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya,atau karna orang yang
bersumpah li’an itu dalam kesaksian yang kelima menyatakan bersedia menerima
la’nat(kutukan) Allah jika pernyataan tidak benar.
Menurut
hukum islam li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh
istrinya berbuat zina dengan 4 kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar
dalam tuduhannya,kemudia pada sumpah kesaksian kelima disertai pernyataan bahwa
ia bersedia menerima la’nat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.
Dasar
hukum pengaturan li’an bagi suami yang menuduh istrinya berbuat zina ialah
firman Allah surat An-Nur ayat 6-7.
B.Sebab-sebab
lain Putusnya Pernikahan dan Akibatnya
Sebagaimana
telah dikemukakan di atas bahwa perkawinan menjadi putus sebab thalaq dan
perceraian, maka selain itu perkawinan juga dapat putus oleh hakim dann kasus
syqaq, dengan keputusan hakim yang berupa pembatalan perkawinan dan
fasakh,serta sebab meninggalkan meninggal dunia pada salah seorang suami istri
atau keduanya.
Di
bawah ini dijelaskan satu persatu,sebagai berikut:
Putusnya Perkawinan sebab Syiqaq
Syiqaq
adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa sehingga
antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran,menjadi dua
pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat
mengatasinya. Yang terdapat dalam Firman Allah surat An-Nisa ayat 35.
Menurut
firman Allah tersebut jika terjadi kasus Tsiqaq antara suami istri maka diutus
seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk
mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab musabah terjadi syiqaq
dimaksud serta berusaha mendamaikannya,atau mengambil prakasa putusnya
perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya.
Putusnya Perkawinan sebab Pembatalan
Jika
suatu akad perkawinan telah dilaksanakan dan dalam pelaksanaannya ternyata
terdapat larangan perkawinan antara suami istri semisal karna pertalian
darah,pertalian susuan,pertalian semenda,atau terdapat hal-hal yang
bertentangan dengan ketentuan hukum seperti tidah terpenuhinya rukun atau
syaratnya,maka perkawinan menjadi batal demi hukum dan melalui proses
pengadilan,hakim membatalkan perkawinan tersebut.
Putusnya Perkawinan sebab Fasakh
Hukum
islam mewajibkan suami untuk melaksanakan hak-hak istri dan memelihara istri
dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiyaya istrinya dan menimbulkan
kemudharatan terhadapnya.suami dilarang menyengsarakan kehidupan istri dan
menyianyiakan haknya.Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 231.
Hukum
islam tidak menghendaki adanya kemudharatan dan melarang saling menimbulkan
kemudharatan.dalam suatu hadis dinyatakan bahwa rasulullah bersabda: “Tidak
boleh ada kemudharatan dan tidak boleh saling menimbulkan kemudharatan”
Menurut
kaedah hukum islam bahwa setiap kemudharatan itu wajib di hilangkan,
sebagaimana kaidah menyatakan:
“Kemudharatan
itu wajib dihilangkan”
Dengan
keputusan pengadilan atas pengaduan karna kesengsaraan yang menimpa atau
kemudharatan yang diderita,maka perkawinan dapat difasakhkan.alasan fasak
yaitu:
a.Tidak
adanya nafkah bagi istri
b.Terjadinya
cacat atau penyakit
c.penderitaan
yang menimpa istri
Putusnya Perkawinan sebab Meninggal Dunia
Dimaksudkan
dengan meninggal yang menjadi sebab putusnya perkawinan dalam hal ini meliputi
mati atau meninggal secara fisik,yakni memang dengan kematian itu diketahui
jenazahnya.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam
Rumah tangga hendaklah saling menjaga serta saling menghargai,saling
mengasihi,saling mengerti,saling setia sehidup semati agar pernikahan sampai
kepada titik Mawaddah,Sakinah,Warahmah.
Namun
sering juga kita jumpai adanya konflik atau permasalahan, perselisihan dalam
rumah tangga dan bahkan sampai terjadi putusnya pernikahan yang telah dibina
secara bertahun-tahun,Nauzubillah min dzalik.
Maka
bagi seorang laki-laki jadilah suami seperti Rasullullah Saw dan bagi wanita
jadilah istri seperti Khadizah agaar sampai kepada tujuan dari pernikahan yaitu
Mawaddah,Sakinah,Warahmah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Muhammad Jawad Mughniyah,Fiqih lima mazhab,PT.lentera basritamo
Prof.Dr.Zakiyah, Ilmu Fiqih, Dana sakti, Yogyakarta, 1945
Departemen Agama,Ilmu Fiqh Jillid 2,jakarta,1983
[1]
Departemen Agama,Ilmu Fiqh Jillid 2,jakarta,1983,hal.220
[2]
Prof.Dr.Zakiyah,Ilmu Fiqih,Dana sakti,Yogyakarta,1945,hal.169
[3]
Departemen Agama,Ilmu Fiqh Jillid 2,jakarta,1983,hal.221
[4]
Prof.Dr.Zakiyah,Ilmu Fiqih,Dana sakti,Yogyakarta,1945,hal.170
[5]
Departemen Agama,Ilmu Fiqh Jillid 2,jakarta,1983,hal.222
[6]
Prof.Dr.Zakiyah,Ilmu Fiqih,Dana sakti,Yogyakarta,1945,hal.171
[7]
Prof.Dr.Zakiyah,Ilmu Fiqih,Dana sakti,Yogyakarta,1945,hal.172-173
[8] Muhammad
Jawad Mughniyah,Fiqih lima mazhab,PT.lentera basritamo,hal.441-442
Tidak ada komentar:
Posting Komentar